ESANDAR, Jakarta – Aksi beli mendominasi perdagangan di bursa Tokyo, bahkan telah mencapai rekor di tahun fiskal ini. Optimisme pelaku pasar didorong oleh keyakinan bahwa aka nada upaya mempertahankan pertumbuhan oleh emiten besar. Korporasi mendapat tekanan dari investor dan pemerintah untuk meningkatkan pengembalian laba dan meningkatkan tata kelola perusahaan.
Dalam beberapa minggu terakhir, Emiten besar seperti SoftBank Group Corp, Sony, Itochu Corp dan perusahaan lain telah mengumumkan rencana untuk membeli kembali saham senilai lebih dari 1,3 triliun yen, menjadikan total nilai pembelian kembali ditandai sejak 1 April menjadi lebih dari 6,5 triliun yen ($ 58,92 miliar). Rekor ini sudah menjadi yang terbesar untuk kinerja fiskal tahunan sejak 2003 ketika aturan pembelian kembali yang baru dan lebih ketat diluncurkan.
Investor telah lama mengkritik perusahaan Jepang karena menimbun uang tunai keuntungan mereka daripada menginvestasikannya kembali atau mengembalikannya kepada pemegang saham, dengan cara menekan laba atas ekuitas (ROE), ukuran jumlah laba yang dihasilkan perusahaan dari uang yang diinvestasikan di dalamnya.
Aksi beli kembali saham mengurangi basis ekuitas perusahaan, meningkatkan ROE-nya. Sebagaimana terlihat sejak bulan lalu ini akan banyaknya aktivitas yang ramah bagi para pemegang saham yang sangat positif dari beragam perusahaan Jepang, mengutip tindakan SoftBank, Sony, Haseko, Tokyo Tatemono dan Toppan. Untuk menarik investor asing, perusahaan-perusahaan tersebut harus melanjutkan jalur peningkatan pengembalian pemegang saham ini, sambil terus meningkatkan tata kelola perusahaan mereka.
Banyak desakan agar perusahaan-perusahaan Jepang meningkatkan pengembalian keuntungan bagi para pemegang sahamnya. Pada bulan Desember lalu misalnya, Oasis gagal memblokir penjualan Alpine Electronics ke perusahaan afiliasi Alps Electric yang lebih besar, tetapi Alps kemudian mengumumkan pembelian kembali sekitar 45 miliar yen pada Januari, ini meruoakan aksi pembelian kembali saham terbesar ketiga pada bulan itu.
Memang sejumlah perusahaan di Jepang tengah berada di bawah tekanan untuk menenangkan investor asing setelah mereka menjual 13 triliun yen saham Jepang pada 2018, lebih dari empat kali penjualan bersih pada 2015 dan 2016, dan pembalikan tajam neto 1,9 triliun yen yang dibeli pada 2017. Baru-baru ini, seiring dengan melemahnya ekonomi global, pasar Jepang telah jatuh karena modal cepat asing telah dijual secara agresif. Sayangnya, banyak perusahaan Jepang yang memiliki tata kelola yang baik dapat mengambil keuntungan dari harga saham yang lebih murah dengan menekan harga bawah saham mereka untuk kemudian mereka lakukan pembelian kembali.
Pembelian kembali saham memiliki tekanan balik politik di tempat lain. Di Amerika Serikat, Senator Marco Rubio minggu lalu mengumumkan rencana untuk mengenakan pajak pembelian kembali dalam upaya untuk mendorong perusahaan untuk menginvestasikan kembali uang cadangan alih-alih mengembalikannya kepada pemegang saham.
Namun di Jepang, pembuat kebijakan telah mendesak perusahaan untuk lebih memperhatikan keinginan investor, terutama melalui tata kelola perusahaan negara dan kode pemangku kepentingan. Pedoman yang dirilis tahun lalu mendesak perusahaan untuk fokus pada kebijakan manajemen keuangan mereka, termasuk jumlah uang tunai yang mereka miliki.
Menurut data Kementerian Keuangan, perusahaan Jepang memiliki cadangan internal senilai rekor 446,5 triliun yen pada akhir tahun fiskal terbaru mereka. ROE perusahaan Jepang diperkirakan akan turun di bawah 10 persen tahun fiskal ini untuk penurunan pertama mereka dalam tiga tahun, menurut Nomura Securities.
Bahkan banyak perusahaan Jepang hanya memiliki terlalu banyak uang tunai di neraca mereka membebani ROE mereka. Manajemen struktur modal yang lebih baik jelas dibutuhkan, kata Kin Chan, kepala investasi Argyle Street Management.
Revisi kode tata kelola perusahaan Jepang dilakukan tahun lalu. Rancangan ini ditujukan untuk mendorong perusahaan untuk menjual saham di perusahaan lain, juga mendorong pembelian kembali. “Melarutkan kepemilikan saham silang, dan meningkatkan dividen dan pembelian kembali adalah dua cara untuk membuat perusahaan Jepang lebih menarik bagi investor asing,” kata Patrick Moonen, ahli strategi multi-aset utama di NN Investment Partners yang berbasis di Belanda.
Diperkirakan aksi pembelian kembali lebih masih akan berlanjut. Analis di Goldman Sachs memperkirakan bahwa pembelian kembali akan mencapai 7,8 triliun yen selama 12 bulan hingga akhir Maret 2020.
Patut dipertimbangkan bahwa saat ini, 56 persen perusahaan non-keuangan Jepang yang ada di indek saham papan atas menggunakan kas bersih, yang berarti mereka memiliki dana tersisa bahkan jika mereka harus membayar semua hutang besok. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan AS dimana kurang dari 20 persen atau Eropa, menurut angka dari broker CLSA.
Dengan demikian, efek lanjutan dari reli yang biasa terjadi saat akhir tahun, Santa’s Rally – masih bisa dilanjutkan. (Lukman Hqeem)