ESANDAR, Jakarta – Harga minyak mentah dalam perdagangan Selasa (27/02/2018) menurun. Selain dihadang oleh menguatnya Dolar AS, pendorong jatuhnya harga minyak adalah pernyataan Presiden Badan Energi Internasional, IEA. Investor memilih mengamankan posisinya dengan melakukan aksi ambil untung sembari menanti data persediaan minyak mentah AS.
Penguatan dolar AS terjadi setelah investor melakukan aksi beli kembali di pasar ekuitas AS jelang penutupan perdagangan bulanan dan di dorong oleh nada testimoni Jerome Powell, Gubernur Utama Bank Sentral AS yang bernada hawkish. Powell cukup optimis melihat masa depan ekonomi AS dan mengamini kemungkinan kenaikan suku bunga AS lebih dari tiga kali. Penguatan dolar AS itu berarti impor minyak dunia akan terlihat lebih mahal sisi belinya sebagai konsekuensi bersamaan dengan naiknya nilai dolar AS, sehingga investor minyak langsung tancap gas melakukan sisi jual minyaknya secara besar untuk mengurangi kerugian yang akan terjadi.
Harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) ditutup melemah $1,22 atau 1,91% di level $62,69 per barel. Sedangkan minyak Brent ditutup melemah $1,14 atau 1,69% di harga $66,36 per barel.
Sebelum pernyataan Powell keluar, harga minyak sudah mulai tertekan setelah Badan Energi Internasional (International Energy Agency) melalui presidennya, Fatih Birol menyatakan bahwa produksi minyak AS pada 2019 akan menjadi yang terbesar melewati produksi minyak Rusia. Itu berarti produksi minyak AS pada 2019 akan lebih dari 11 juta bph.
Fatih Birol pada sebuah acara di Tokyo, mengatakan bahwa pada tahun depan, jika tidak tahun ini, AS akan mengambil alih posisi Rusia sebagai produsen minyak mentah terbesar. Birol mengatakan bahwa dia tidak melihat produksi minyak AS memuncak sebelum tahun 2020 dan dia pun memperkirakan tidak ada penurunan dalam empat sampai lima tahun ke depan.
Pekan lalu saja produksi minyak AS mencapai 10,27 juta bph, dan angka tersebut juga sudah melewati produksi minyak Arab Saudi, di mana menurut Arab Saudi sendiri pada bulan Maret akan menurunkan produksi minyak lagi sekaligus menurunkan jumlah ekspor minyaknya tidak sampai 7 juta bph.
Pernyataan Birol tersebut membuat pasar minyak bergejolak, khawatir dengan pasokan minyak yang akan berlimpah lagi. Ditambah oleh pernyataan Powell yang membuat dolar AS menguat tajam, bertambah pula koreksi minyak yang hampir 2% tersebut jelang data persediaan minyak AS keluar nanti malam dan bertepatan dengan perdagangan akhir bulan alias tutup kontrak bulanan.
Meski demikian, pasar masih memegang ucapan Menteri Minyak Arab Saudi, Khalid al-Falih yang menyatakan bahwa pertumbuhan antara pasokan minyak dunia akan segera diimbangi dengan naiknya permintaannya karena pertumbuhan ekonomi global yang juga sedang melaju, sehingga dalam tahun ini keseimbangan pasar minyak dunia akan segera tercapai dan bahkan bisa mengalami defiisit di akhir tahun, sehingga tahun depan upaya terhadap pembatasan pasokan minyak 1,8 juta bph juga sudah bisa dikurangi.
Rasa optimis al-Falih dinyatakannya dengan harapan bahwa OPEC dan Rusia tetap berpegang teguh untuk menjaga komitmen pembatasan produksi minyaknya 1,8 juta bph hingga akhir tahun, sehingga dirinya tidak terlalu risau dengan melonjaknya produksi minyak serpih AS.
Lonjakan produksi minyak AS terus membanjiri pasar minyak global dan terjadi di saat para produsen utama lainnya termasuk Rusia dan anggota OEPC yang didominasi negara-negara Timur Tengah terus menahan produksi mereka untuk menopang harga komoditas tersebut. Minyak AS juga semakin banyak diekspor, termasuk ke pasar dengan pertumbuhan terbesar dan tercepat, menggerogoti pangsa pasar OPEC dan Rusia.
Sementara itu, impor minyak mentah bersih AS turun di pekan lalu sebesar 1,6 juta bph menjadi 4,98 juta bph, tingkat terendah sejak EIA mulai mencatat data tersebut pada tahun 2001, yang mencerminkan erosi lebih lanjut di pasar yang menjadi andalan OPEC selama beberapa dekade.
Di sisi permintaan, Birol memperkirakan akan terjadi pertumbuhan sekitar 1,4 juta bph pada tahun 2018. (Lukman Hqeem)