ESANDAR, Jakarta – Harga minyak terus tunjukkan sisi jualnya pada perdagangan Selasa (31/01/2018). Aksi ambil untung yang dilakukan investor terjadi karena khawatir bahwa data ekonomi AS terus membaik lagi. Kondisi ini akan membuat Dolar AS menguat dan harga minyak makin menurun.
Penurunan harga minyak membuat harga minyak West Texas Intermediate ditutup melemah $1,55 atau 2,36% di level $64,01 per barel. Sedangkan minyak Brent ditutup melemah $0,88 atau 1,27% di harga $68,58 per barel.
Persediaan minyak AS selama 10 minggu ini telah mengalami penurunannya sehingga investor minyak sedang khawatir jika rilis data yang akan terjadi nanti malam versi pemerintah bisa mengalami kenaikan. Ini terbukti dari data persediaan minyak versi API bahwa persediaan minyak mentah telah mengalami kenaikan sebesar 3,229 juta barel, minyak bensin persediaannya naik 2,692 juta barel serta minyak pemanas dan solar naik 4,096 juta barel.
Dalam dua minggu ini API juga melaporkan kondisi persediaan minyak mentah yang naik, sedangkan versi EIA pekan lalu masih menyatakan terjadinya penurunan. EIA baru nanti malam melaporkannya dengan perkiraan mengalami kenaikan. Meski laporan API dengan EIA kadang berseberangan, namun bisa seiring sejalan pada beberapa moment.
Sejauh ini pula pelemahan ini sebagai bentuk perjalanan minyak dalam ruang aksi ambil untungnya setelah terjadi penguatan terus-menerus sejak awal Desember lalu sesaat setelah ditutupnya pipa minyak di Laut Utara Inggris. Pelemahan kali ini juga disebabkan oleh akan terus naiknya produksi minyak AS. Sejauh ini harga minyak sudah naik hampir 60% sejak pertengahan tahun lalu, namun produksi minyak AS sendiri juga telah naik sekitar 17% sejak pertengahan 2016. EIA juga menyebut bahwa produksi minyak AS juga mengalami kenaikan 128 ribu bph menjadi total 9,878 juta bph, mendekati rekor tertinggi produksi minyak serpih dalam sejarah AS pada tahun 1970 sebesar 10,04 juta bph.
Harga minyak memang sedikit banyak juga berhubungan dengan kondisi pergerakan mata uang AS tersebut karena sebagian besar perdagangan minyak menggunakan dolar AS sebagai alat tukar dalam perdagangannya, sehingga jika dolar AS menguat maka akan terlihat bahwa investor sedikit menahan beli minyak karena harga pembelian minyak terkesan sedang mahal.
Pelemahan juga disebabkan dasar laporan dari Baker Hughes yang mengaktifkan kembali 12 lokasi pengeboran minyak sehingga total menjadi 759 rig yang aktif kembali. Produksi minyak AS tersebut sungguh mengkhawatirkan banyak pihak termasuk Arab Saudi dan Rusia di mana produksi AS makin mendekati produksi minyak Rusia yang mencapai 10,98 juta bph di tahun lalu.
Sejauh ini harga minyak sudah naik hampir 60% sejak pertengahan tahun lalu, namun produksi minyak AS sendiri juga telah naik sekitar 17% sejak pertengahan 2016. EIA juga menyebut bahwa produksi minyak AS juga mengalami kenaikan 128 ribu bph menjadi total 9,878 juta bph, mendekati rekor tertinggi produksi minyak serpih dalam sejarah AS pada tahun 1970 sebesar 10,04 juta bph.
Hal lain yang memperberat usaha OPEC dan Rusia dalam rangka pembatasan pasokan minyak dunia adalah produksi minyak Kanada dengan total produksi sekarang sekitar 4,2 juta bph dan kemungkinan akan mengalami kenaikan 335 ribu bph di tahun ini seiring dengan peningkatan belanja investasi perusahaan minyak di sana.
Hasil perdagangan beberapa hari ini ternyata telah mempersempit jarak harga atau spread antara minyak Brent dengan WTI menjadi sekitar $5 per barel dari sebelumnya yang sempat membuat jarak keduanya sekitar $7 per barel. Sempitnya spread tersebut akan memberi peluang bahwa produksi minyak AS bisa menurun di kemudian hari karena harga minyak Brent terlihat lebih murah di mana konsumen global sebetulnya lebih memilih Brent karena kualitasnya lebih bagus.
Sebuah catatan dari Bank of America Merrill Lynch hari ini menyatakan harga minyak masih bisa tinggi karena kenaikan suku bunga the Fed yang menandakan pertumbuhan ekonomi AS mulai terus membaik dan membuat negara-negara maju lainnya serta negara-negara berkembang sedang membaik kinerja ekonominya sehingga membutuhkan bahan bakar energi yang lebih besar. (Lukman Hqeem)